Lingkungan
Surabaya-Sidoarjo: Laut Dengan Status Hak Bangun, Apa yang Terjadi?
Laut Surabaya-Sidoarjo dengan status Hak Guna Bangunan bisa membawa peluang ekonomi, namun risiko lingkungan yang mengancam ekosistem juga mengintai. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Kami telah mengidentifikasi perkembangan penting mengenai status Hak Guna Bangunan (HGB) di Sidoarjo, mencakup area seluas 656 hektar. Status ini menimbulkan pertanyaan mendesak tentang kepatuhan terhadap regulasi perencanaan tata ruang, terutama mengingat peraturan daerah yang mengutamakan perikanan. Meski potensi komersial ini dapat menguntungkan ekonomi lokal, ini juga mengancam ekosistem vital dan area penangkapan ikan tradisional. Masyarakat lokal tentu saja khawatir tentang akses yang terbatas dan degradasi lingkungan. Kompleksitas dari lanskap hukum ini menuntut pertimbangan hati-hati terhadap faktor ekonomi dan lingkungan. Untuk memahami dampak penuh dari keputusan ini, sangat penting untuk mengeksplorasi nuansa seputar HGB di area ini.
Penemuan HGB di Sidoarjo
Baru-baru ini, kami telah menemukan perkembangan signifikan mengenai Hak Guna Bangunan (HGB) di Sidoarjo, yang mencakup area seluas 656 hektar.
Penemuan HGB ini, yang diidentifikasi oleh dosen Thanthowy Syamsuddin melalui aplikasi Bhumi dan dikonfirmasi melalui aplikasi Tata Ruang BPN, mencakup tiga plot dekat Eco Tourism Mangrove Gunung Anyar.
Dengan sertifikat yang dimiliki oleh PT Surya Inti Permata dan PT Semeru Cemerlang, yang dikeluarkan pada tahun 1996 dan berakhir pada tahun 2026, kita menghadapi pertanyaan mendesak tentang kepatuhan terhadap rencana tata ruang regional.
Yang sangat mengkhawatirkan adalah kontradiksi dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013, yang melarang sertifikat tanah di atas area laut.
Penyelidikan yang sedang berlangsung oleh BPN dan lembaga lainnya sangat penting untuk memastikan legitimasi dan kepatuhan terhadap regulasi perencanaan tata ruang.
Implikasi Hukum untuk Wilayah Pesisir
Lanskap hukum yang mengelilingi area pesisir, terutama di Sidoarjo, menghadirkan tantangan signifikan karena adanya konflik kepentingan antara penggunaan lahan dan regulasi lingkungan.
Penerbitan sertifikat HGB menimbulkan pertanyaan tentang kepatuhan terhadap kerangka hukum, terutama mengingat keputusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013, yang melarang konstruksi di ruang laut.
Peraturan Daerah No. 10 tahun 2023 menekankan perikanan sebagai penggunaan utama, yang mempersulit klaim HGB untuk tujuan komersial.
Saat kita meninjau tiga sertifikat HGB yang dimiliki oleh PT Surya Inti Permata dan PT Semeru Cemerlang, kita harus mempertimbangkan kebutuhan perencanaan ruang dan perlunya dokumen Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
Setiap pelanggaran yang teridentifikasi dapat mengarah pada pembatalan status HGB dan dampak signifikan bagi perusahaan yang terlibat.
Kekhawatiran Masyarakat dan Lingkungan
Meskipun penerbitan sertifikat HGB dapat menjanjikan pengembangan ekonomi, hal ini secara simultan menimbulkan kekhawatiran signifikan bagi komunitas lokal dan lingkungan. Sebanyak 656 hektar yang ditujukan untuk penggunaan komersial mengancam perikanan lokal dan ekosistem mangrove yang vital. Nelayan di desa Segoro Tambak khawatir klaim ini dapat membatasi akses ke area penangkapan ikan tradisional, membahayakan hak penangkapan ikan dan praktik budaya mereka. Peningkatan banjir di daerah seperti Merr dan Gunungsari menonjolkan ketidakseimbangan ekologi yang disebabkan oleh aktivitas reklamasi. Para lingkungan lokal menekankan perlunya penilaian komprehensif untuk memahami dampak HGB terhadap konservasi pesisir.
Kekhawatiran | Dampak pada Komunitas | Dampak Lingkungan |
---|---|---|
Pembatasan Penangkapan Ikan | Membahayakan mata pencaharian dan budaya | Mengancam populasi ikan |
Peningkatan Banjir | Menggusur komunitas | Mengganggu keseimbangan ekologi |
Kontradiksi Hukum | Menciptakan ketidakpastian bagi penduduk | Berisiko kehilangan keanekaragaman hayati |