Kesehatan
Kronologi Pemerkosaan 2 Korban Baru oleh Dokter Priguna
Bukti yang sangat kuat muncul saat Doktor Priguna menghadapi tuduhan pelecehan seksual terhadap dua korban, mengangkat pertanyaan mendesak tentang kepercayaan dan keamanan dalam pelayanan kesehatan.

Saat kita menyelami kronologi mengejutkan kejahatan Dokter Priguna, kita tidak bisa tidak mempertanyakan bagaimana seseorang dalam posisi kepercayaan dapat menyalahgunakan wewenang mereka sedemikian rupa. Tuduhan pemerkosaan baru-baru ini yang melibatkan dua korban baru, berusia 21 dan 31 tahun, mengungkapkan pola yang mengganggu yang membutuhkan pengawasan kita. Kedua wanita tersebut berada di bawah anestesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) ketika mereka diserang, menimbulkan kekhawatiran penting tentang etika medis dan keamanan pasien di lingkungan yang dipercaya.
Pada 10 Maret dan 16 Maret 2025, korban pertama dan kedua dianiaya dengan pengkhianatan tertinggi. Korban pertama, yang sedang mempersiapkan operasi telinga, dibawa ke lantai tujuh, dibiarkan pingsan, dan kemudian ditemukan tidak sadarkan diri. Korban kedua, yang dipanggil untuk tes alergi, mengalami nasib serupa. Modus operandi ini—menggunakan anestesi untuk melumpuhkan—menunjukkan pendekatan yang terhitung baik yang sangat mengerikan dan sangat mengganggu.
Bagaimana kita bisa mendamaikan kekudusan profesi medis dengan pelanggaran kepercayaan yang begitu besar? Serangan baru-baru ini masuk dalam narasi yang lebih luas tentang pelanggaran berulang oleh Dokter Priguna, menunjukkan pola yang bisa mengarah ke konsekuensi hukum yang ditingkatkan di bawah hukum Indonesia.
Saat kita menganalisis kasus ini, kita harus mempertimbangkan apa artinya untuk advokasi korban. Tindakan berani dari wanita-wanita ini, yang melaporkan serangan mereka setelah sadar kembali, menyoroti pentingnya mendengarkan korban dan memvalidasi pengalaman mereka. Kita harus mendukung keberanian mereka dengan mendorong perlindungan yang lebih kuat terhadap mereka yang menggunakan wewenang medis mereka sebagai senjata.
Dalam memeriksa peristiwa ini, kita menghadapi pertanyaan mendasar tentang etika medis. Bagaimana seorang dokter, yang bersumpah untuk tidak menyakiti, bisa menimbulkan trauma seperti itu pada mereka yang mempercayakan hidup mereka kepada mereka? Implikasinya melampaui kasus-kasus spesifik ini; mereka menantang dasar dari bagaimana kita melihat tokoh otoritas dalam perawatan kesehatan.
Sangat penting bagi kita untuk mendorong lingkungan di mana pasien merasa aman untuk berbicara dan melaporkan penyalahgunaan tanpa takut tidak percaya atau pembalasan. Saat kita merenungkan implikasi dari tindakan Dokter Priguna, kita mengakui kebutuhan mendesak untuk perubahan sistemik.
Kita harus mendorong kebijakan yang mengutamakan keamanan pasien dan pertanggungjawaban di bidang medis. Kita berhutang kepada korban dan kepada diri kita sendiri untuk menuntut reformasi—memastikan bahwa kepercayaan tidak pernah lagi dieksploitasi dengan cara yang begitu menghancurkan. Bersama, kita bisa menjadi juara masa depan di mana etika medis dipertahankan dan korban didukung, mendorong budaya keselamatan dan rasa hormat.